:strip_exif():quality(75)/medias/5247/ef17d55a5faf374d670760b1e7f77b69.jpeg)
Kisah kuntilanak, makhluk halus yang digambarkan sebagai perempuan, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Cerita tentang kuntilanak beredar luas melalui cerita rakyat, film, dan berbagai kisah horor lainnya. Namun, pertanyaan mengenai mengapa kuntilanak selalu dikaitkan dengan sosok perempuan terus mengemuka. Apakah ada penjelasan ilmiahnya?
Jejak Sejarah: Dari Pohon Tinggi Hingga Rawa-Rawa
Para pakar mengungkap bahwa penggambaran kuntilanak sebagai perempuan erat kaitannya dengan peranan perempuan sebagai penghubung dunia manusia dengan dunia roh di masa lalu. Antropolog Timo Duile dalam studinya "Kuntilanak Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia" menghubungkan cerita kuntilanak dengan berdirinya Kota Pontianak.
Di awal abad ke-18, Syarif Abdurrahim, bangsawan keturunan Arab, tiba di daerah yang kini menjadi Pontianak. Ia ditugaskan untuk membangun benteng melawan para perompak yang bermarkas di delta Sungai Kapuas. Namun, daerah tersebut masih berupa hutan lebat dan rawa-rawa. Beberapa sumber menyebutkan nama "Pontianak" berasal dari bahasa Melayu "pon ti", yang berarti pohon tinggi. Pohon tinggi di pedesaan Kalimantan Barat sering dikaitkan dengan keberadaan arwah.
Hubungan antara nama Pontianak dengan hantu kuntilanak juga terungkap dalam sebuah buku tentang sejarah Pontianak. Buku tersebut mencatat bahwa rombongan Syarif Abdurrahim mengalami gangguan dan suara menakutkan saat tiba di daerah tersebut. Gangguan ini dianggap sebagai hantu kuntilanak yang membuat takut orang-orang di atas perahu.
Peran Perempuan: Dari Penghubung Roh hingga Sosok Seram
Nadya Karima Melati, aktivis perempuan, dalam tulisannya "Monsterisasi Perempuan dan Monoteisme: Sebuah Perspektif Longue Duree" di Jurnal Perempuan, menjelaskan bahwa penggambaran perempuan sebagai sosok menyeramkan tak lepas dari kepercayaan masa lalu. Ia mengutip pendapat antropolog Jeannette Marie Maego dan Alan Howard, yang menyatakan bahwa meskipun monoteisme muncul, peran roh dalam masyarakat tidak sepenuhnya hilang.
Dalam kepercayaan lokal sebelum munculnya agama monoteis, roh dianggap sebagai makhluk hidup yang dapat berkomunikasi dengan manusia. Perempuan berperan sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia roh. Hal ini disebabkan karena perempuan dianggap memiliki kekuatan spiritual, seperti kemampuan menstruasi atau memiliki identitas harmonis, seperti bissu (rohaniawan).
Monoteisme: Menggeser Peran dan Menciptakan Monster
Kehadiran agama monoteisme seperti Islam dan Kristen membawa konsep ketuhanan yang "maskulin", yang menggeser dan bahkan menghancurkan kepercayaan lokal tentang roh dan alam. Monoteisme menolak keberadaan makhluk spiritual selain Tuhan. Roh yang sebelumnya setara dengan manusia kemudian dianggap sebagai hantu atau monster.
Upacara-upacara yang menggunakan metode komunikasi dengan roh kemudian diinterpretasi sebagai "kesurupan". Peran perempuan sebagai perantara roh berubah menjadi dukun atau penyihir, karena mereka dianggap mampu berkomunikasi dan memerintahkan roh.
Perubahan ini mengakibatkan perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan mudah dirasuki oleh roh jahat, atau bahkan dianggap memiliki wujud seperti roh jahat. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa kuntilanak, sebagai representasi roh jahat, sering digambarkan sebagai sosok perempuan.