:strip_exif():quality(75)/medias/468/933db7f19d73b2858a1caeb56ed9a627.jpeg)
Indonesia harus segera mempersiapkan diri menghadapi era kecerdasan buatan (AI) di sektor kesehatan dan vaksin. Hal ini diungkapkan dalam Konferensi Internasional "Artificial Intelligence and Blockchain Conference (AIBC 2024)" yang digelar di Universitas Tokyo, Jepang, pada 11-13 September 2024.
AI di Sektor Kesehatan dan Vaksin: Potensi dan Tantangan
Potensi AI di bidang kesehatan dan farmasi sangat besar, mengingat Indonesia memiliki populasi lebih dari 278 juta jiwa dan jumlah pengguna internet yang tinggi. PT Bio Farma, perusahaan farmasi milik negara, telah diakui secara global sebagai produsen vaksin kelas dunia, memproduksi lebih dari 3,2 miliar dosis vaksin per tahun.
Dalam dekade terakhir, penelitian berbasis AI di sektor kesehatan dan farmasi mengalami peningkatan pesat. AI dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang, mulai dari diagnosis hingga proses produksi vaksin. Berikut beberapa contoh konkretnya:
- Diagnosis yang lebih akurat: AI mampu mendiagnosis penyakit dengan akurasi yang setara atau bahkan lebih baik daripada dokter berkat kemampuannya dalam memproses data secara cepat dan akurat. Contohnya, aplikasi EKG di Apple Watch yang telah disetujui oleh FDA dapat digunakan untuk skrining kesehatan mandiri.
- Peningkatan alur kerja klinis: AI dapat mempermudah proses uji klinis di industri vaksin dan meningkatkan alur kerja klinis, diagnostik, dan perawatan yang dipersonalisasi.
- Percepatan penemuan obat: AI dapat membantu mengurangi pekerjaan penelitian yang repetitif, menghemat waktu dan biaya, dan mempercepat penemuan obat baru melalui otomasi eksperimen kimia dan pemodelan machine learning.
- Studi bioaktivitas dan sifat obat baru: Penggunaan "digital twins" sebagai representasi virtual dari organ atau individu memungkinkan studi bioaktivitas dan sifat obat baru secara lebih efisien.
Namun, penggunaan AI di bidang kesehatan dan vaksin juga menghadirkan sejumlah tantangan, di antaranya:
- Risiko bias dalam algoritma: AI yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan bias dapat menghasilkan hasil yang tidak adil.
- Transparansi dalam algoritma: Penting untuk memastikan bahwa algoritma AI dapat dijelaskan dan dipahami oleh pengguna.
- Keselamatan dan privasi data pasien: Regulasi AI harus memastikan keamanan dan privasi data pasien.
Beberapa negara, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, telah berupaya mengatur penggunaan AI di bidang kesehatan. Uni Eropa memiliki Undang-Undang AI (EU AI Act) dan UU Perlindungan Data (GDPR) untuk memastikan penggunaan AI yang aman dan etis. Di Amerika Serikat, American Hospital Association (AHA) mendorong agar regulasi AI harus fleksibel dan mendukung perawat dalam penerapannya demi manfaat pasien.
Regulasi AI di Indonesia: Membangun Kerangka Hukum yang Adaptif
Di Indonesia, meskipun belum ada UU khusus terkait AI, beberapa regulasi yang relevan telah tersedia, seperti UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan UU Nomor 1/2024 tentang Perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Menteri Komunikasi dan Informatika juga telah mengeluarkan pedoman etika penggunaan AI.
Namun, Indonesia perlu mengembangkan regulasi AI yang adaptif dan responsif terhadap perubahan teknologi. Regulasi ini harus mempertimbangkan kecepatan perubahan teknologi, bias dalam algoritma, transparansi, dan keselamatan pengguna. Selain itu, penting untuk terus meningkatkan kesadaran di kalangan profesional kesehatan, industri vaksin, dan pengembang teknologi.