:strip_exif():quality(75)/medias/6857/31ecf4974d24feb43350f87416289118.jpeg)
Setiap individu memiliki karakter yang unik, ada yang lembut dan ada pula yang cenderung keras kepala. Orang dengan watak keras sering kali disegani karena sikap teguh mereka, namun di balik itu terkadang terdapat kesulitan dalam menerima perbedaan. Psikolog klinis, Fitri Jayanthi, M.Psi., menjelaskan bahwa watak keras ini terbentuk dari pola asuh yang dijalani ketika masih kecil.
Asal Mula Watak Keras: Pengaruh Pola Asuh
"Watak keras terbentuk dari pola asuh orang tua atau pengasuh, serta lingkungan sekitar," ungkap Fitri. Watak keras dikaitkan dengan kepribadian yang kuat dalam hal pikiran, sudut pandang, kepercayaan, prinsip, dan tindakan. Artinya, individu dengan watak keras memegang teguh keyakinan mereka dan menggunakannya sebagai pedoman hidup. Namun, hal ini juga bisa menjadi tantangan dalam berinteraksi dengan orang lain.
"Mereka cenderung sensitif terhadap orang yang berbeda pendapat dan bisa melampiaskan amarah kepada orang tersebut," ujar Fitri, pendiri Cup of Stories. Perilaku ini dapat membuat hubungan dengan orang lain menjadi sulit, terutama jika mereka tidak memahami mengapa seseorang dengan watak keras bersikap demikian.
Mengenali Pola Asuh yang Berpotensi Membentuk Watak Keras
Meskipun tidak bisa dipastikan secara spesifik pola asuh yang membentuk watak keras, ada satu ciri khas yang sering dijumpai, yaitu kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua. Anak yang kurang mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang tua cenderung merasa harus terus berusaha untuk mendapatkannya.
Kegigihan ini memang positif karena membuat anak tidak mudah menyerah. Namun, tanpa pengakuan yang cukup, mereka bisa merasa bahwa usaha mereka tidak pernah cukup. Hal ini bisa menyebabkan konflik dengan orang lain, terutama ketika orang tersebut menilai usaha mereka sudah cukup baik. Kondisi ini menunjukkan bahwa anak mungkin terpaku pada "pendirian" yang kurang memadai dan merasa perlu terus membuktikan dirinya.
Anak yang terpaku pada "pendirian" kurang cukup ini perlu menyadari bahwa keyakinannya tidak selalu benar. "Anak perlu belajar bahwa tidak selamanya apa yang mereka yakini adalah kebenaran," tutup Fitri. Memahami bahwa setiap individu memiliki pandangan dan pengalaman yang berbeda sangat penting dalam membangun hubungan yang sehat dan harmonis.