:strip_exif():quality(75)/medias/1961/562cb8ac0fa6366a32741062d69ab48e.jpeg)
Pernahkah kamu menonton Instagram Stories milikmu sendiri berulang kali sebelum akhirnya hilang dalam 24 jam? Kamu bukan sendirian! Banyak orang, termasuk para kreator konten, mengaku melakukan hal yang sama. Hal ini bisa menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji karena di balik kebiasaan menonton ulang Instagram Stories sendiri ternyata tersimpan beberapa alasan psikologis.
Alasan Dibalik Self-Stalking di Instagram Stories
Contohnya, kreator TikTok @hyly.angie yang terkenal dengan kontennya dalam bahasa Jawa, seringkali mengunggah Instagram Stories untuk dirinya sendiri. Dalam 24 jam, dia bisa menontonnya berkali-kali, bahkan sampai 900 kali (walaupun dia bercanda dengan angka tersebut)! Kontennya ini viral dan disukai banyak orang, terbukti dari jumlah penonton, like, save, dan share yang sangat tinggi. Tak hanya di Indonesia, kreator luar negeri seperti @emilybrogann dan @xoxotatianaa juga membuat konten serupa, dan video @xoxotatianaa bahkan viral dan disukai lebih dari 600.000 orang!
Psikolog Eloise Skinner, ahli dalam identitas eksistensial, menyebut kebiasaan menonton ulang konten kita sendiri sebagai "self-stalking". Menurut Skinner, kita ingin melihat diri kita dari sudut pandang orang lain karena kita tidak tahu bagaimana mereka sebenarnya melihat kita.
"Kita ingin memahami persepsi orang lain tentang diri kita, karena itu membantu kita menjawab pertanyaan 'siapakah saya?'" jelas Skinner. "Kita akhirnya menafsirkan pikiran dan pendapat orang lain dengan membayangkan apa yang mereka lihat di profil media sosial kita. "
Zoe Mallet, seorang psikolog, setuju dengan pendapat Skinner. Mallet berpendapat bahwa kita memiliki keinginan bawaan untuk mendapatkan penerimaan dan validasi sosial. "Ini adalah upaya bawah sadar untuk meningkatkan status sosial kita, meningkatkan peluang diterima, dan menciptakan citra diri yang positif," jelas Mallet. "Ini adalah bagian dari mekanisme bertahan hidup kita sebagai manusia."
Upaya kita untuk mengendalikan persepsi orang lain tentang kita sudah ada jauh sebelum Instagram. Misalnya, memilih pakaian untuk suatu acara, atau apa yang kita katakan dalam percakapan. Media sosial hanyalah perpanjangan dari upaya tersebut.
Selain itu, "Self-stalking" juga bisa muncul karena rasa tidak aman atau "insecure" tentang identitas kita. Kita mungkin membandingkan kehidupan digital kita dengan orang lain dan melihat apa yang kurang atau tidak kita sukai. Namun, Skinner juga percaya bahwa keinginan untuk melihat kembali konten yang kita unggah adalah hal yang normal. Ini seperti membolak-balik album foto, jurnal, atau scrapbook. Media sosial bisa menjadi tempat menyimpan versi lama dari diri kita. Jadi, bernostalgia lewat media sosial bisa jadi hal yang positif dan bermanfaat.
Walaupun "self-stalking" bisa memotivasi atau menghibur, penting untuk tetap sadar akan dampaknya. Kebiasaan ini bisa membuat kita lebih kritis terhadap diri sendiri atau terjebak di masa lalu. Jika membuatmu merasa minder, mementingkan diri sendiri, atau teralihkan dari hal-hal yang ingin kamu lakukan, mungkin sudah saatnya untuk membatasi kebiasaan "self-stalking".