:strip_exif():quality(75)/medias/15292/60320e8db0c62ce78d949afc0b0387fd.jpeg)
Gunung Fuji, simbol Jepang yang mendunia, ternyata menyimpan fakta unik terkait kepemilikan lahannya. Hanya bagian bawah gunung, hingga ketinggian 3.360 mdpl, yang menjadi milik negara. Sedangkan puncaknya, dari 3.360 mdpl hingga 3.776 mdpl, merupakan tanah pribadi yang dimiliki oleh Kuil Agung Sengen (Fujisan Hongu Sengen Taisha), sebuah kuil Shinto.
Sejarah Kepemilikan Puncak Gunung Fuji
Sejarah kepemilikan puncak Gunung Fuji berawal dari kepemilikan Shogun Tokugawa Ieyasu. Pada tahun 1606, ia menghibahkan puncak gunung kepada Kuil Agung Sengen. Penghibahan ini menandai dimulainya kepemilikan puncak gunung oleh entitas keagamaan.
Kemudian, selama era Meiji, pemerintah Jepang mengambil alih semua kuil Shinto, termasuk Kuil Agung Sengen, sehingga Gunung Fuji secara administratif berada di bawah kendali negara. Namun, perubahan konstitusi Jepang tahun 1949 yang memisahkan agama dan negara mengubah dinamika kepemilikan ini.
Setelah konstitusi baru diberlakukan, Kuil Agung Sengen mengajukan tuntutan hukum untuk mengembalikan hak kepemilikan puncak Gunung Fuji. Proses hukum yang panjang akhirnya berbuah hasil. Pada tahun 2004, puncak Gunung Fuji secara resmi diakui sebagai milik Kuil Agung Sengen.
Meskipun diakui sebagai milik Kuil Agung Sengen, kuil tersebut belum mendaftarkan kepemilikan lahan tersebut secara resmi. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas administrasi karena lokasi Gunung Fuji yang berada di perbatasan Prefektur Shizuoka dan Yamanashi, yang mengakibatkan batas wilayah yang tidak jelas.
Kompleksitas Pendaftaran Kepemilikan
Ketidakjelasan batas wilayah antara dua prefektur tersebut menjadi kendala utama dalam proses pendaftaran kepemilikan lahan. Meskipun demikian, pemerintah Jepang mengakui kepemilikan Kuil Agung Sengen atas puncak Gunung Fuji. "Menariknya, Kuil Agung Sengen belum mendaftarkan kepemilikan lahan tersebut. Mengapa? Karena Gunung Fuji berada di perbatasan Prefektur Shizuoka dan Yamanashi, dan batas wilayah yang tidak jelas membuat pendaftaran kepemilikan menjadi rumit," demikian penjelasan yang beredar.
Meskipun proses pendaftaran kepemilikan belum selesai, hal ini tidak menghalangi publik untuk mendaki dan mengunjungi Kuil Agung Sengen di puncak Gunung Fuji. Akses publik tetap terjaga dengan baik, menunjukkan harmonisasi antara hukum, keagamaan, dan kepentingan umum.
Kepemilikan puncak Gunung Fuji oleh Kuil Agung Sengen menyoroti interaksi kompleks antara sejarah, hukum, dan agama di Jepang. Kasus ini juga menunjukkan bagaimana isu kepemilikan lahan dapat dipengaruhi oleh faktor geografis dan administratif. Kejelasan administrasi pertanahan memang sangat penting untuk menjamin kepastian hukum.
Fakta unik ini memberikan dimensi baru dalam memahami ikon kebanggaan Jepang. Gunung Fuji bukan hanya sekadar gunung, tetapi juga cerminan sejarah dan budaya yang kaya. Kisah kepemilikannya memberikan wawasan tentang sistem hukum dan adat istiadat di Jepang.
Pengakuan pemerintah Jepang atas kepemilikan Kuil Agung Sengen menunjukkan pentingnya menghormati sejarah dan hak kepemilikan, meskipun proses administrasi masih berlangsung. Ini juga menunjukkan kearifan dalam mengelola aset penting yang bernilai historis dan spiritual.