Lifestyle

Perjuangan Menjadi Awak Kabin: Kisah Chreisna dan Cecil

Menjadi Awak Kabin: Perjuangan dan Harapan

Menjadi awak kabin adalah impian banyak orang, terlihat dari tingginya antusiasme pendaftar dari berbagai daerah. Namun, perjalanan untuk mencapai cita-cita ini tidaklah mudah.

Selain harapan untuk mendapatkan penghasilan di atas rata-rata, banyak yang ingin merasakan pengalaman bekerja sambil berlibur dan menjelajahi berbagai destinasi. Hal ini bisa terwujud jika menjadi pramugari atau pramugara. Namun, di balik impian tersebut, terdapat tantangan yang harus dihadapi.

Awak kabin dituntut memiliki berbagai keahlian, mulai dari kemampuan berbahasa asing, sikap yang baik, hingga keterampilan evakuasi dan pemadaman kebakaran. Tekanan dari lingkungan juga menjadi tantangan tersendiri bagi setiap individu.

Chreisna Bayu, seorang awak kabin yang sedang menjalani pelatihan di Lion Group, berbagi pengalamannya. Putra daerah Kalimantan Utara ini berasal dari keluarga sederhana; ayahnya seorang buruh bangunan dan ibunya seorang ibu rumah tangga dengan usaha makanan. Sebelum memutuskan untuk menjadi pramugara, Chreisna bekerja di bidang kreatif sebagai MC dan pelatih marching band.

Meskipun banyak kerabatnya yang meragukan impiannya, ia tetap bertekad. "Saya dan adik-adik berpikir bahwa menjadi pramugari atau pramugara harus cantik, tinggi, dan berasal dari kota. Kami juga khawatir tentang biaya sekolah yang mahal," ujarnya.

Chreisna mengaku bahwa masalah finansial menjadi salah satu penghalang. Karena latar belakangnya yang sederhana, ia berambisi lolos dalam percobaan pertama. Ia ingin menjadi inspirasi bagi kerabatnya di daerah. "Saya datang ke sini dengan harapan dan keraguan. Orang tua saya tidak bisa membiayai saya terus-menerus," tambahnya.

Beruntung, Chreisna berhasil lolos dalam percobaan pertama dan dibebaskan dari biaya pendidikan untuk menjadi kru kabin. "Saya ingin membuka jalan bagi adik-adik dan teman-teman di kampung untuk berkarir di penerbangan. Banyak yang berpikir bahwa menjadi awak kabin memerlukan biaya besar, padahal yang terpenting adalah kemampuan berbahasa Inggris dan sikap yang baik," jelasnya.

Cecilia Natasha Wulan Febryan, atau Cecil, adalah teman satu angkatan Chreisna yang juga menghadapi tantangan serupa. Setelah mengambil sekolah penerbangan di Bali, ia bekerja di berbagai sektor selama pandemi, termasuk sebagai waitress dan SPG.

Cecil terinspirasi untuk menjadi pramugari setelah melihat pramugari yang menawan saat bekerja di bandara. Namun, perjalanannya tidak mudah; ia harus mencoba tiga kali sebelum berhasil. "Saya sempat putus asa dan berpikir saya tidak bisa," ujarnya.

Dengan tekad yang kuat, Cecil berhasil menjaga mentalnya dan akhirnya menjadi pramugari. Namun, ia terkejut dengan proses rekrutmen yang panjang dan sulit. "Saya pikir menjadi pramugari itu mudah, tetapi ternyata ada banyak tahapan seperti psikotes, tes bahasa Inggris, dan tes kesehatan," jelasnya.

Cerita Chreisna dan Cecil adalah contoh dari banyak perjalanan para awak kabin dalam meraih cita-cita mereka. Apakah Anda juga memiliki impian serupa?