Siswi Rentan Gangguan Jiwa, Sekolah Perlu Lebih Suportif
Penelitian gabungan Health Collaborative Center (HCC), Fokus Kesehatan Indonesia (FKI), dan Yayasan BUMN mengungkap fakta mengejutkan: anak perempuan memiliki risiko gangguan kesehatan jiwa 2,5 kali lebih tinggi di lingkungan sekolah. Temuan ini berdasarkan studi yang melibatkan ratusan siswa dan guru di Jakarta.
Faktor Risiko Kesehatan Jiwa pada Siswi
Menurut Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSP, dua faktor utama berkontribusi terhadap peningkatan risiko ini. Pertama, perubahan hormonal, khususnya di masa remaja akhir, memainkan peran signifikan. Siklus menstruasi dan potensi ketidakseimbangan hormonal dapat memengaruhi kondisi fisik dan emosi, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap gangguan kesehatan jiwa. "Ketidakseimbangan hormonal dapat meningkatkan risiko ini berkali-kali lipat," jelas Dr. Ray dalam Media Briefing Kesehatan Jiwa di Jakarta Selatan, 17 Desember 2024. Ia menambahkan, "Dan karena hal ini sering terjadi di sekolah, risiko anak perempuan menjadi lebih besar."
Faktor kedua yang tak kalah penting adalah kurangnya akses terhadap aktivitas fisik. Olahraga terbukti ampuh mengurangi stres dan kecemasan. Namun, Dr. Ray mengamati, "Ruang olahraga di sekolah sering didominasi siswa laki-laki, sehingga siswi lebih sering berkumpul di kantin." Minimnya kesempatan berolahraga memperburuk situasi dan berdampak negatif pada kesehatan jiwa siswi.
Penelitian ini juga menyoroti aspek sosial yang mempengaruhi kesehatan jiwa siswi. Anak perempuan seringkali merasa terpinggirkan, bahkan sejak usia remaja. Kondisi ini memperkuat kaitan antara lingkungan sosial dan kesehatan mental mereka.
Metode Penelitian dan Sampel
Studi ini menggunakan metode campuran (kuantitatif dan kualitatif) dengan desain studi potong lintang. Pengumpulan data dilakukan melalui skrining dan survei pada Oktober 2024, lalu divalidasi melalui rapat pakar pada November 2024. Sebanyak 741 siswa dan 97 guru dari tiga SMA di Jakarta (dua SMA Negeri di Jakarta Timur dan satu SMA Swasta di Jakarta Selatan) menjadi responden, dipilih dengan teknik purposive sampling.
Instrumen yang digunakan adalah Strengths and Difficulties Questionnaire 25 (SDQ-25) untuk siswa dan Self-Reporting Questionnaire 20 (SRQ) untuk guru. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko dan pola yang relevan.
Hasil analisis menunjukkan korelasi signifikan antara faktor hormonal, kurangnya aktivitas fisik, dan lingkungan sekolah yang kurang suportif dengan peningkatan risiko gangguan kesehatan jiwa pada siswi.
Rekomendasi untuk Lingkungan Sekolah yang Lebih Suportif
Kesimpulan penelitian menekankan perlunya lingkungan sekolah yang lebih mendukung kesehatan jiwa siswi. Akses yang lebih baik terhadap aktivitas fisik dan lingkungan yang inklusif serta suportif sangat penting untuk mengurangi risiko gangguan kesehatan jiwa pada anak perempuan.
Sekolah perlu menciptakan ruang dan kesempatan yang setara bagi siswa laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dan aktivitas fisik lainnya. Selain itu, upaya menciptakan lingkungan yang inklusif dan suportif dapat membantu siswi merasa lebih nyaman dan aman di sekolah.
Pentingnya dukungan dari guru dan staf sekolah juga perlu diperhatikan. Mereka berperan penting dalam menciptakan suasana sekolah yang positif dan membantu siswi mengatasi masalah kesehatan jiwa yang mungkin mereka hadapi.