:strip_exif():quality(75)/medias/8119/cee22ac83e7d84ffae8b61da18b29592.jpeg)
Pakar ekonomi dan perbankan, Cyrillus Harinowo, menantang asumsi bahwa mobil listrik menjadi satu-satunya solusi untuk dekarbonisasi di Indonesia. Dalam karyanya, "Multi-pathway for Car Electrification," ia memaparkan beragam teknologi yang dapat membantu Indonesia mencapai target Net Zero Emission (NZE).
Mengapa Mobil Listrik Bukan Satu-satunya Jawab?
Awalnya, Cyrillus sendiri meyakini mobil listrik sebagai solusi sempurna. Namun, penelitian mendalam mengubah pandangannya. Ia menemukan potensi besar dari teknologi rendah emisi lain, seperti Low Cost Green Car (LCGC), mobil hybrid, dan mobil flex-fuel. Buku setebal hampir 300 halaman ini merangkum tren teknologi otomotif terkini, termasuk mobil listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV), serta strategi pengurangan emisi karbon. "Buku ini diharapkan memberikan pemahaman komprehensif dan mendukung keberlanjutan ekonomi, industri, dan pencapaian visi NZE," ujar Cyrillus.
Inspirasinya muncul dari pernyataan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, tahun 2020, yang mengumumkan larangan penjualan mobil konvensional pada 2030. Cyrillus menyadari keputusan ini bersifat permanen, berbeda dengan kesadaran masyarakat Indonesia yang masih terbatas terhadap isu ini. Namun, ia melihat potensi Indonesia untuk mengikuti jejak negara-negara Barat.
Cyrillus mencontohkan bagaimana mobil listrik, meski nol emisi saat digunakan, tetap berkontribusi pada emisi karbon karena sebagian besar energi listrik di Indonesia berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. "Meskipun nol emisi saat digunakan, mobil listrik masih berkontribusi pada emisi karbon," jelasnya.
Bersama Ika Maya Sari Khaidir, Cyrillus menulis 26 bab yang membahas perkembangan teknologi otomotif di berbagai negara, termasuk Eropa, Amerika, dan Asia Tenggara. Buku ini menyoroti upaya global untuk dekarbonisasi sektor otomotif dan tantangan transisi ke mobil listrik di negara berkembang seperti Indonesia.
Sebagai alternatif, banyak produsen mobil global mengembangkan kendaraan hybrid (HEV) dan plug-in hybrid (PHEV) sebagai langkah menuju mobil listrik sepenuhnya. Ini dianggap solusi mengatasi stagnasi dekarbonisasi jika hanya mengandalkan mobil listrik.
Brasil menjadi contoh bagi Indonesia. Sebagai negara berkembang dengan populasi besar, Brasil berhasil mengurangi emisi karbon dengan memanfaatkan bioetanol dari industri gula sebagai bahan bakar kendaraan. Mereka juga mengembangkan biodiesel dan mobil flex-fuel hybrid yang menggunakan bioetanol.
Indonesia, menurut Cyrillus, berpeluang menguasai rantai pasok kendaraan listrik dan mesin flex-fuel, serta memanfaatkan cadangan nikel untuk produksi baterai. Data penjualan mobil di Amerika Serikat tahun 2023 menunjukkan peningkatan signifikan minat terhadap mobil hybrid, membuktikan pergeseran preferensi konsumen menuju kendaraan ramah lingkungan. "Hal ini membuka peluang inovasi lebih lanjut di sektor ini," kata Cyrillus.
Pandangan yang Menantang Arus Utama
Cyrillus menyadari pandangannya mungkin dianggap melawan arus, mengingat tren yang menekankan mobil listrik sebagai solusi tunggal. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai teknologi ramah lingkungan. Target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia tahun 2030 dan visi NZE tahun 2060 mendesak pendekatan multi-teknologi.
Mobil non-listrik ramah lingkungan, menurut Cyrillus, tetap menjadi pilihan layak untuk mencapai target NDC 2030 karena potensinya mengurangi emisi karbon hingga 50 persen. "Namun, gagasan ini masih dianggap melawan arus," akunya.