Tekno

Konferensi Kecerdasan Buatan dan Blockchain: Tantangan dan Peluang di Sektor Kesehatan

Konferensi Internasional Kecerdasan Buatan dan Blockchain di Tokyo

Konferensi Internasional “Artificial Intelligence and Blockchain Conference (AIBC 2024)” diselenggarakan di Universitas Tokyo, Jepang, pada 11-13 September 2024. Acara ini dihadiri oleh para profesional dari industri, akademisi, peneliti, dan ahli dari berbagai negara, serta pembicara ternama.

Dalam sesi “Advanced Artificial Intelligence, Theory and Application,” saya membahas regulasi dan etika penggunaan AI di sektor layanan kesehatan dan industri vaksin. Dengan populasi lebih dari 278 juta jiwa dan 221.563.479 pengguna internet (APJII 2024), Indonesia perlu segera mengantisipasi regulasi terkait penerapan AI dalam layanan kesehatan, industri vaksin, dan farmasi secara umum.

Indonesia memiliki PT Bio Farma, yang diakui secara global sebagai produsen vaksin kelas dunia. Perusahaan ini telah beroperasi selama 134 tahun dan memproduksi lebih dari 3,2 miliar dosis vaksin setiap tahun, yang diekspor ke lebih dari 150 negara, serta digunakan di dalam negeri.

Dalam dekade terakhir, penelitian berbasis AI di sektor kesehatan dan farmasi telah meningkat pesat, terutama dalam bidang diagnosis, hasil klinis, uji klinis, dan proses produksi. Untuk analisis interdisiplin, saya mengutip hasil riset dari para ahli global.

Salah satu laporan penting ditulis oleh Kavitha Palanjappan, Elaine Yan Ting Lin, dan Silke Vogel berjudul “Global Regulatory Frameworks for the Use of Artificial Intelligence (AI) in the Healthcare Services Sector,” yang diterbitkan oleh National Library of Medicine AS pada 28 Februari 2024. Penelitian ini menunjukkan bahwa AI dapat melakukan diagnosis dengan akurasi setara atau bahkan lebih baik daripada dokter, berkat kecepatan dan ketepatan dalam interpretasi data.

AI juga digunakan dalam aplikasi medis untuk konsumen, seperti EKG di Apple Watch, yang telah disetujui FDA untuk skrining kesehatan mandiri. Selain itu, AI berpotensi besar dalam meningkatkan alur kerja klinis, diagnostik, dan perawatan yang dipersonalisasi, serta menyederhanakan proses uji klinis di industri vaksin.

Dalam riset farmakologi, AI membantu mengurangi pekerjaan penelitian yang berulang, menghemat waktu dan biaya, serta mempercepat penemuan obat melalui otomasi eksperimen kimia dan pemodelan machine learning. Istilah “digital twins” juga diperkenalkan sebagai representasi virtual dari organ atau individu untuk studi bioaktivitas dan sifat obat baru.

Laporan lain dari Patrick Grunewald dan Michael J. Laursen, yang diterbitkan oleh EY, berjudul “How Implementation Unlocks the True Potential of AI in Pharma” pada 18 Juli 2024, menyatakan bahwa industri farmasi dengan cepat mengadopsi AI untuk meningkatkan R&D hingga perawatan pasien. Perusahaan perlu mempersiapkan infrastruktur teknologi dan data untuk integrasi inovasi ini.

Saya juga mengkaji publikasi resmi Pfizer berjudul “mRNA and Artificial Intelligence for Advanced Vaccine Innovation” (2024), yang menjelaskan bagaimana AI - Smart Data Query (SDQ) mempercepat pengolahan data uji klinis vaksin COVID-19. Dengan instrumen ini, waktu pembersihan data berkurang dari lebih dari 30 hari menjadi hanya 22 jam.

Namun, untuk memanfaatkan semua potensi ini, diperlukan regulasi yang jelas dan pasti. Regulasi AI di bidang ini harus melindungi pengguna sekaligus mendorong inovasi teknologi. Realitas menunjukkan bahwa banyak hukum positif di berbagai negara belum siap menghadapi teknologi ini.

Uni Eropa merespons dengan regulasi ketat, termasuk Undang-Undang AI (EU AI Act) dan UU Perlindungan Data (GDPR), untuk memastikan penggunaan AI yang aman dan etis. EU AI Act mengkategorikan empat tingkat risiko AI: tidak dapat diterima, tinggi, terbatas, dan minimal, di mana aplikasi AI dalam sektor kesehatan umumnya termasuk kategori risiko tinggi.

Di AS, American Hospital Association (AHA) mendesak agar regulasi AI harus fleksibel untuk mengikuti inovasi dan mendukung perawat dalam penerapannya demi manfaat pasien. FDA AS juga mengembangkan rencana aksi untuk kerangka regulasi yang memungkinkan inovasi AI terus berkembang dengan tetap memastikan keselamatan dan efektivitas.

Di Indonesia, meskipun belum ada UU khusus terkait AI, beberapa regulasi yang relevan telah ada, seperti UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan UU Nomor 1/2024 tentang Perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu, Menteri Komunikasi dan Informatika telah mengeluarkan pedoman etika penggunaan AI yang menekankan transparansi dan akuntabilitas.

Regulasi AI di bidang layanan kesehatan dan industri vaksin harus mempertimbangkan kecepatan perubahan teknologi, bias dalam algoritma, transparansi, dan keselamatan pengguna. Penyusunan regulasi harus didahului oleh penelitian mendalam dan mempertimbangkan pengalaman internasional serta penyesuaian dengan konteks lokal.

Regulasi harus adaptif dan responsif terhadap perubahan agar tidak menghambat inovasi teknologi yang dapat memberikan manfaat besar. Sambil menunggu lahirnya regulasi spesifik, penting untuk terus meningkatkan kesadaran di kalangan profesional kesehatan, industri vaksin, dan pengembang teknologi. Keberadaan hukum positif yang responsif terhadap fenomena digital tanpa menghalangi inovasi sangat penting untuk melindungi kepentingan dan keselamatan publik.